Cerpen: Cahaya Kampungku

cerpen cahaya kampungku wak jamal

Cahaya Kampungku

By: Wak Jamal

Bencana longsor tahun lalu bukanlah peristiwa pertama yang terjadi di kampungku. Sejak aku lahir telah terhitung puluhan kali bencana ini terjadi.Tapi, longsor kali ini merupakan yang terdahsyat. Tanah berukuran 3×20 meter persegi ambruk akibat tekanan beban yang di pengaruhi gravitasi. Aku yang sedang nyeyak tertidur langsung bangun mendengar gemuruh besar, bagai hujan meteor.

Ranjang tempatku berbaring bergetar hebat sehinga menjatuhkanku ke lantai. Semua orang dirumahku berhamburan keluar menyelamatkan diri karena menyangka telah terjadi gempa besar. Tepat ketika aku keluar rumah, getaran tersebut berhenti dan betapa terkejutnya aku, daratan di depanku lenyap! Tak sampai 4 meter lagi dari teras, aku telah berada di atas jurang!. Halaman rumahku habis, yang tersisa hanya batang daun kari yang di tanam Ibu berjejer di perkarangan. Longsor ini merambat rapi sepanjang 20 meter dan menghilangkan hak milik tuan tanah bagi beberapa orang orang. Pohon mangga, kelapa, kapuk, dan kembang - kembang porak poranda. Mereka, para keluarga tumbuhan, akarnya tak kuat menahan tanah, malah hanya menambah massa yang selanjutnya turut berpatisipasi dalam terjadinya longsor ini.
 
Walaupun aku bukan pakar Geologi, tidak berarti aku buta Sains. Aku tahu sedikit mengenai peristiwa alam ini. Longsor yang berada se-depa denganku disebabkan oleh ulah mesin penghisap pasir, yang setiap hari menghisap pasir di desaku.
Menurutku bukan cuma itu penyebab bencana ini terjadi. Bencana ini merupakan teguran Allah SWT kepada penduduk kampungku. Dia telah marah melihat perilaku masyarakat yang tak kunjung sembuh, malah tambah kambuh.

Aku bersyukur, keluargaku selamat pada peristiwa ini. Rumah yang sederhana masih utuh beserta perabot- perabot di dalamnya, Satu yang nyaris, yaitu antena TV ku. Antena yang terikat dengan batang bambu ikut tejatuh ketika longsor itu. Beruntung antena itu masih melekat dengan kabalnya dan masih tersangkut sehingga aku tingal mengulurnya pelan-pelan dari atas hinga menyentuh tanah.

Lain lagi dengan tetangga sebelahku, kasihan mereka.Separuh rumahnya ambruk sehingga yang tertinggal hanya ruang dapur. Beruntung, sekeluarga pada saat itu tidak beradah dirumah. Mereka mengunjungi putrinya yang sedang menginap di rumah sakit.

Longsor tahun lalu telah merengut 15 nyawa dan meludeskan ratusan juta rupiah. Jumlah rupiah ini bukan lah penaksiran dari total harta benda yang hilang berupah tanah, rumah dan pepohonan. Tapi semua itu benaran uang asli, uang yang bernilai ratusan juta rupiah.

Aku tak heran dengan fakta ini, pondok di sebelah kiri rumahku memang sering menjadi markas benda haram, yaitu sabu-sabu. Tepat dini hari, sebelum longsor terjadi. Pondok  itu ramai di kunjungi beberapa orang untuk bertransaksi, mereka adalah konsumen yang datang dari bebagai daerah dan si pengedar itu sendiri. Sungguh yang namanya nasib, ajal menyapa mereka.  Ditengelamkannya para mahluk itu beserta harta bendanya. Uang, HP, perhiasan, dan motor yang terparkir raib di telan bumi. Paginya tempat bencana itu telah dipenuhi  warga. Mereka beramai ramai datang bukan-nya untuk membantu mengevakuasi jenazah, melainkan hanya mencari harta karun yang tertimbun diantara jenajah tersebut. Mereka mengali menggunakan cangkul bahkan ada yang hampir mengenai tangan jenazah.
Kampungku tak jauh dari kata bencana, Januari lalu petir menyambar gedung kantor kepala desa sampai hangus. 2 orang meningal dunia karena terkurung dalam kobaran api. Dua orang tersebut adalah sekdes dan juru ketik desa.Malang benar dua orang ini, ditemukan seperti roti panggang.
Aku berpikir, kejadian ini pasti merupakan peringatan sekaligus membuka kedok korupsi di desaku. Banyak dana bantuan yang di salurkan pemerintah berhenti pada perut mereka yang buncit. Aku ingat ketika, berkarung beras bulog diangkut ke mobil pick-up punya kepala desa. Aku bertanya, mengapa tidak dibagikan ke pada warga kampung. Ia secara terang - terang menjawab ingin dijualnya ke pasar.
Anehnya penduduk desa yang di khianati pemerintah desa ini sama sekali tidak peduli. Barangkali mereka telah terbiasa dengan hal hal seperti itu.Warga kampung sibuk dengan bisnis sendiri.Tak dapat bantuan apapun mereka tetap kenyang. Mereka tak akan cemas, pekarangan ganja telah menjadi kekuatan ekonomi paling utama. Sebagian lagi sibuk membuka praktek perdukunan.
Tinggal-lah aku dengan keluarga beserta sanak saudaraku yang masih beriman.Yang jumlahnya dapat di hitung mengunakan jari. Perbandingan dengan seluruh penduduk kampung yaitu satu banding sembilan ratus sembilan puluh sembilan. 

Desaku hanya mempunyai satu surau itupun sepi. Jika sholat jum'at, terpaksa kemasjid desa sebelah.
Naas sekali kampungku. Bahkan madrasah tempat aku mengaji sore dulu telah menjadi tempat untuk memakai barang haram. Sering kutemui, remaja ngumpul tepi sungai, mereka mabuk -  mabukan sambil mendengar musik DJ. Jika salah satu dari meraka teler,  yang teler tersebut di biarkan saja.
Ketahuilah! Mabuk itu merupakan saudara gila. Meraka tak ada bedanya, hal bodoh sering terjadi akibatnya.

Pernah dulu  ketika aku masih sekolah SMA. Aku di cegat seorang pereman yang seram. Preman lokal ini membawa pirasat buruk. Dia mengertak, merampas dan ingin menikamku.
           "Kau dak tau siapa aku ha?, sini motor kau !" bentak preman tersebut.
           "Ampun bang, ini satu - satunya yang saya punya" aku menjawab dengan lemah lembut.
           "Kalau abang nak duit, janganlah merampok macam ini, kerjalah elok elok, nafkahi anak dan istri" lanjutku lagi.
Begitu polosnya aku dulu. Sampai memberi nasehat kepada seorang  preman yang jelas terkunci hatinya, aku tak tau kalau preman ini sudah tak waras, telah di pengaruhi obat- obatan.           
           "Jangan banyak omong, kau mau makan pisau!", Preman tersebut mengeluarkan pisau lipat. Aku terkejut dan cemas.
           "Ampun bang" Aku menagis tersedu-sedu.

Yang ada dalam pikiranku hanya keluargaku. Aku teringat ucapan ayah dahulu, jika kita berada pada situasi yang mendesak, bacalah ayat kursi tiga kali. Aku berkeringat membaca ayat kursi didalam hati. Pisau itu semakin dekat. Sungguh! Memang benar kekuasaan Allah. Preman tersebut jatuh dan pingsan tak tahu kenapa. Aku langsung kabur dengan motorku.Tak lama kemudian terdengar berita seorang pria meninggal dengan mulut yang berbusa. Setelah mendengar kabar tersebut, baru aku tahu sebab ia tiba- tiba pingsan. Di terkena serangan jantug yang di akibatkan overdosis sabu sabu. Sehingga, untuk mengobatinya ia harus mengkomsumsi sabu sabu lagi. Bahkan sampai gelap mata ingin membunuh orang.
Mayoritas penduduk desa menekankan perekonomian terhadap perkebunan.Kebanyakan warga menanan cabai, tomat, timun, labu dan sayuran lainnya. Yang kemudian di panen jika masuk massa panennya. Tapi itu dulu sebelum narkoba tenar di kampungku. Sekarang, warga lebih berkenan menanam ganja dan tembakau.
Di kampungku, sangat sedikit yang tidak pernah mencicipi tembakau.Mereka biasanya mengulungnya dengan kertas seperti halnya rokok atau menyeduhnya bersama teh bahkan yang unik lagi ada yang mencampurkannya dengan kue bolu.Adapun pengolahan ganja yang paling unik yaitu mencampurkanya dengan sayur bening. Sungguh ngeri kuliner di desaku.
Banyak remaja usiaku tidak melanjutkan pendidikan. Ada yang tamat SD langsung kerja. Yang tamat SMA bisa dihitung mengunakan jari, termasuk aku didalamnya. Angka nikah muda meningkat sepanjang tahun, sehingga pasangan mudah tersebut belum ada sikap dewasa untuk membentuk rumah tangga.  Bahkan, pernah kudengar ketika bayi merengek minta susu, ibunya malah asik bermain kelereng.
Kampungku benar - benar berantakan, penduduknya banyak tak memiliki etika yang baik. Berbagai tindakan kriminal seperti: pencurian, perampokan, perkelahian, mabuk-mabukan, perjudian dan narkoba merambat di seluruh penjuruh desa. Sering kutemui orang - orang yang nekat tapi bodoh di lingkungan ku, itu tak lepas karena pengaruh obat obatan.
Mereka, para penduduk kampung sudah tak acuh dengan berbagi bencana yang terjadi. Mereka yang masih hidup tetap terus melaksanakan aktivitasnya. Dan yang mati dibiarkannya. Tidak ada satu orang pun yang bisa memandikan dan men sholatkan jenazah di kampungku. Jika ada orang meninggal, jenazah dikirim keluar kampung untuk diurus secara benar.
Banyak orang bercerita padaku, kalau ada yang bermimpi seorang gentayangan meminta di buka ikatan kain kafannya. Merinding aku mendengar berita yang di sampaikan-nya.
Sebagai minoritas, aku berusaha untuk tidak terpengaruh segala hal buruk yang ada di lingunganku. 

Kondisi ku sampai saat ini sangat baik. Aku mengantungkan diri pada penghasilan ku sendiri yang halal. Aku bekerja sebagai karyawan minimarket di kota. Walaupun gaji nya tak seberapa, tapi  cukuplah lah untuk memenuhi kebutuhan hidupku saat ini. Aku selalu mensyukuri nikmat serta rezeki yang di berikan Allah swt.
Ibuku selalu menasehatiku supaya aku tetap menjadi anak soleh dan selalu membahagiakan orang tua. Ayahku mengancam akan mengusirku jika sempat melihat aku bermain dengan para remaja kampung
Keluargaku bagaikan cahaya kecil didalam kegelapan. Aku menyinari kegelapan tersebut dengan cahaya yang aku miliki. dengan kemampuan yang aku miliki tersebut, Aku selalu berusaha membimbing anak-anak di kampungku. Berharap dapat menanamkan kebaikan semenjak dini. Aku mengajar mereka sholat, mengaji, dan berhitung setiap sehabis magrib. Aku tak pernah ingin peduli dengan orang dewasa yang ada di kampungku. Karena hati meteka sudah mati atau membatu. Kerap aku bernasehat kepada mereka tetapi mereka hanya menganggap omongan ku adalah omong kosong yang tidak ada arti bagi mereka.
Aku berpikir ingin mengumpulkan uang sebanyak banyaknya dan membangun rumah di daerah lain, kan ku ajak keluargaku untuk ikut pindah dan menetap di sana. Dan ketika aku kembali lagi ke kampung ini, penduduknya telah tobat dan sudah meningalkan perbuatan yang maksiat. Aku berharap kalau kisah Nabi Yunus kembali terjadi di jaman sekarang ini, aku berharap itu terjadi di kampungku.
Allah menjawab harapan ku, tapi dengan metode lain. Allah telah membukakan pintu hati para orang tua di kampung. Mereka berbondong-bondong menghantarkan anaknya untuk mengaji dengan ku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mereka para orang tua ingin kebodohan cukup sampai diri mereka saja. Mereka menanggap perilaku anak remaja mereka yang keterlaluan. Dikarenakan kelalaian orang  yang tidak memasukan anak mereka ke bangku pendidikan.
 
Madrasah di kampungku kembali di bangun, penduduk desa berangsur membaik. Mereka senang mendengar syair shalawat yang  dilantunkan anak-anak didikku. Suara mereka yang lucu lucu telah mengetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Banyak warga yang luluh hatinya dan tobat nasuha. Surau semakin hari semakin ramai. Sekarang bukan bukan hanya anak anak yang belajar mengaji, tapi juga warga yang berbagai usia. Senin kemarin ada seorang remaja meminta pengobatan akan kecanduan terhadap obat obatan, aku bacakan ayat ayat syifa' dan ia merasakan khasiat Ilahi. Remaja ini berangsur sehat dan sekarang sering menjadi mu’azin di surau.
 
Aku bersyukur kepada Allah, karena telah mengkaruniakan cahaya dalam hidup. Cahaya tersebut telah mengubah kampungku yang awalnya  sesat. Aku mendapatkan suatu pelajaran dalam hidupku, Yaitu:
 
"Sekecil -kecilnya cahaya pasti tetap bersinar, meskipun kegelapan yang menyelimutinya setebal jagad raya”

*TAMAT*

*Cerpen ini mempunyai hak cipta, setidaknya jika ingin menyadur atau copas lebih beretika kalau meminta izin terlebih dahulu.

0 komentar